INDIKATOR KEMAMPUAN AFEKTIF
A. Disposisi Matematik
Dalam menghadapi era informasi dan suasana bersaing
yang semakin ketat, dalam mempelajari kompetensi matematik di atas, siswa dan
mahasiswa perlu memiliki kemampuan berfikir matematik tingkat tinggi, sikap kritis,
kreatif dan cermat, obyektif dan terbuka, menghargai keindahan matematika,
serta rasa ingin tahu dan senang belajar matematika. Apabila kebiasaan berfikir
matermatik dan sikap seperti di atas berlangsung secara berkelanjutan, maka
secara akumulatif akan tumbuh disposisi matematik (mathematical disposition)
yaitu keinginan, kesadaran, kecenderungan dan dedikasi yang
kuat pada diri
siswa atau mahasiswa untuk berpikir dan berbuat secara matematik.dengan cara
yang positif Polking (1998), mengemukakan bahwa disposisi matematik
menunjukkan:
1. Rasa percaya diri dalam menggunakan matematika,
memecahkan masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan,
2. Fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematik dan
berusaha mencari metoda alternatif dalam memecahkan masalah;
3. Tekun mengerjakan tugas matematik;
4. Minat, rasa ingin tahu (curiosity), dan
dayatemu dalam melakukan tugas matematik;
5. Cenderung memonitor,
merepleksikan performance dan penalaran mereka sendiri;
2. Menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam
matematika dan pengalaman sehari-hari;
3. Apresiasi (appreciation) peran matematika dalam
kultur dan nilai, matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa.
Hampir serupa dengan pendapat
Polking (1998), Standard 10 (NCTM, 2000) mengemukakan bahwa disposisi matematik
menunjukkan: rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan
perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan
masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan
orang lain. Disposisi matematik disebut juga productive disposition (sikap
produktif), yakni tumbuhnya sikap positif serta kebiasaan untuk melihat
matematika sebagai sesuatu yang logis, berguna dan berfaedah (Kilpatrick,
Swafford, & Findell, 2001).
Memperhatikan kekuatan kognitif
dan afektif yang termuat dalam berfikir dan disposisi matematik di atas, adalah
rasional bahwa dalam belajar matematika siswa dan mahasiswa perlu mengutamakan
pengembangan kemampuan berfikir dan disposisi matematik. Pengutamaan tersebut
menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan tuntutan kemajuan IPTEKS
dan suasana bersaing yang semakin ketat terhadap lulusan semua jenjang
pendidikan.
B. Kemampuan Self Esteem
Komunikasi intrapribadi atau Komunikasi intrapersonal adalah
penggunaan bahas atau pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator sendiri
antara self dengan God. Komunikasi intrapersonal merupakan keterlibatan
internal secara aktif dari individu dalam pemrosesan simbolik dari pesan-pesan.
Seorang individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan, memberikan umpan
balik bagi dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan.
Komunikasi
intrapersonal dapat menjadi pemicu bentuk komunikasi yang lainnya. Pengetahuan
mengenai diri pribadi melalui proses-proses psikologis seperti persepsi dan
kesadaran (awareness) terjadi saat berlangsungnya komunikasi
intrapribadi oleh komunikator. Untuk memahami apa yang terjadi ketika orang saling
berkomunikasi, maka seseorang perlu untuk mengenal diri mereka sendiri dan
orang lain. Karena pemahaman ini diperoleh melalui proses persepsi. Maka pada
dasarnya letak persepsi adalah pada orang yang mempersepsikan, bukan pada suatu
ungkapan ataupun obyek.
Aktivitas
dari komunikasi intrapribadi yang kita lakukan sehari-hari dalam upaya memahami
diri pribadi diantaranya adalah; berdo'a, bersyukur, instrospeksi diri dengan
meninjau perbuatan kita dan reaksi hati nurani kita, mendayagunakan kehendak bebas,
dan berimajinasi secara kreatif .
Pemahaman
diri pribadi ini berkembang sejalan dengan perubahan perubahan yang terjadi
dalam hidup kita. Kita tidak terlahir dengan pemahaman akan siapa diri kita,
tetapi prilaku kita selama ini memainkan peranan penting bagaimana kita
membangun pemahaman diri pribadi ini.
Kesadaran
pribadi (self awareness) memiliki beberapa elemen yang mengacu pada
identitas spesifik dari individu (Fisher 1987:134). Elemen dari kesadaran diri
adalah konsep diri, proses menghargai diri sendiri (self esteem), dan
identitas diri kita yang berbeda beda (multiple selves).
C. Kemampuan Self
Efficacy
Konsep
self-efficacy terletak di pusat teori sosial kognitif psikolog Albert Bandura.
Teori Bandura menekankan peran belajar observasional, pengalaman sosial, dan
determinisme timbal balik dalam pengembangan kepribadian.
Menurut
Bandura, sikap seseorang, kemampuan, dan keterampilan kognitif terdiri dari apa
yang dikenal sebagai sistem diri. Sistem ini memainkan peran utama dalam
bagaimana kita memandang situasi dan bagaimana kita berperilaku dalam
menanggapi situasi yang berbeda. Self-efficacy memainkan merupakan bagian
penting dari sistem diri.
D. Self Redulated
Learning
Matematika
merupakan mata pelajaran yang menarik untuk dibahas dan selalu menjadi sorotan
dan perhatian itu dikarenakan rendahnya prestasi belajar matematika yang
diperoleh mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi. Khususnya pada tingkat SMU,
nilai yang diperoleh dari hasil ujian nasional matematika tahun 2006/2007 lebih
rendah daripada nilai ujian lain, yaitu sebesar 7,29 sedangkan mata pelajaran
lain sebesar 7,56 dan 7,84 (Badan Penelitian Dan Pengembangan Penelitian,
2007). Rendahnya prestasi belajar matematika khususnya pada siswa SMU,
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Metode pengajaran yang monoton ataupun cara
penyampaian guru pada saat memberikan materi di kelas mempengaruhi prestasi
belajar maupun cara belajar siswa. Selain itu pola pengajaran matematika di
dalam kelas lebih ditekankan kepada hafalan atau kecepatan berhitung seorang
siswa. Penekanan pada hafalan yang diterapkan kepada siswa dan juga keharusan
kecepatan siswa dalam berhitung sangat mempengaruhi pemikiran siswa dalam
memandang matematika.
Sedangkan
kualitas pendidikan maupun cara pengajaran yang baik mengacu kepada suatu
proses pemikiran dan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah di masa yang akan
datang. Menurut Hudojo (1998, dalam Aisyah, 2007) pemecahan masalah adalah
suatu proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya.
Menurut
Kantowski (1975, dalam Webb, 1979) pemecahan masalah adalah suatu interaksi
antara pengetahuan dan proses pengaplikasian yang menggunakan faktor kognitif
dan afektif dalam memecahkan masalah. Pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematika dapat diartikan sebagai penggunaan berbagai konsep, prinsip, dan
keterampilan matematika yang telah atau yang sedang dipelajari untuk
menyelesaikan soal rutin dan soal nonrution (Aisyah, 2007).
Soal
rutin adalah soal latihan biasa yang dapat diselesaikan dengan prosedur yang
dipelajari di kelas. Soal jenis ini banyak terdapat dalam buku ajar dan
dimaksudkan hanya untuk melatih siswa menggunakan prosedur yang sedang
dipelajari di kelas. Sedangkan soal nonrutin adalah soal yang untuk
menyelesaikannya diperlukan pemikiran lebih lanjut karena prosedurnya tidak
sejelas atau tidak sama dengan prosedur yang dipelajari di kelas. Soal nonrutin
ini menyajikan situasi baru yang belum pernah dijumpai oleh siswa sebelumnya
(Aisyah, 2007).
Kemampuan
memecahkan masalah didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk menghilangkan
gangguan atau hambatan dalam mencapai tujuan (Hidayat, 1998). Dari pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan memecahkan masalah merupakan suatu
proses, yakni kegiatan yang berkelanjutan dan bukan merupakan kegiatan yang
tejadi hanya sesaat, kemampuan tersebut perlu upaya belajar dan
latihan-latihan.
Kemampuan
memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika pun berkaitan dengan cara
pembelajaran siswa, cara pembelajaran siswa itu dikenal dengan istilah Self
Regulated Learning. Konsep Self Regulated Learning merupakan salah
satu konsep penting dalam teori belajar sosial. Menurut Pintrich (1995) Self
Regulated Learning adalah cara belajar siswa aktif secara individu untuk
mencapai tujuan akademik dengan cara pengontrolan perilaku, memotivasi diri
sendiri dan menggunakan kognitifnya dalam belajar.
Secara
ringkas, Zimmerman (1989) mengemukakan bahwa dengan Self Regulated Learning siswa
dapat diamati sejauh mana partisipasi aktif mereka dalam mengarahkan proses-proses
metakognitif, motivasi dan perilakunya di saat mereka belajar. Proses
metakognitif adalah proses dimana siswa mampu mengarahkan dirinya saat belajar,
mampu merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan diri sendiri dan melakukan
evaluasi diri pada berbagai tingkatan selama proses perolehan informasi.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dalam pembelajran matematika berkaitan
dengan cara belajar mereka.
A very very useful knowledge.. Thanks
BalasHapus